Oleh Martin Moenthadim S.M.
Masyarakat tradisional di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah menulisnya dengan ejaan Asvendra. Lengkapnya Arya Asvendra. Anda sulit percaya? Siapa Asvendra sebenarnya? Dari era apa? Kerajaan apa? Di mana pula?
Nama ini dapat ditemukan dalam manuskrip Sejarah Kawitane (Ana) Wong Jawa lan Wong Kanung (Sejarah Asal Mula Ada Orang Jawa dan Orang Kalang).
Berdasarkan cerita tutur turun-temurun, naskah ini ditulis ulang secara sembunyi-sembunyi oleh tokoh agama lokal yang menyebut diri mBah Guru pada tahun 1931.
Selama masa penjajahan Indonesia oleh bangsa Belanda, manuskrip ini disembunyikan rapat-rapat agar tidak dirampas dan dibawa ke Negeri Belanda.
Naskah berbahasa Jawa ini baru diterbitkan berhuruf Latin dalam jumlah terbatas di Padepokan Argasoka di lereng Gunung Lasem pada tanggal 28 Juni 1996.
Penulis diizinkan memfotokopinya dalam pertemuan dengan tokoh muda Kalang di Blora akhir tahun 2010.
Juga naskah kuno Lasem yang lain, Sabda Badra Santi, kitab ajaran Buddha Jawa, yang ditulis oleh Mpu Santibadra pada tahun 1401 C (1479 M). Di dalam terbitan aksara Latin tahun 1966, buku ini dilampiri Carita Lasem (carita sejarah) yang ditulis ulang oleh R. Panji Karsono pada tahun Jawi 1857 (1920 M) serta Bausastra, glosari bahasa Jawa dialek Lasem.
Tata Negara Jawa
Kita tunda pembeberan siapa itu Arya Asvendra, ada baiknya kita pahami dulu sistem ketatanegaraan pada masa itu.
Era Asvendra ini tepatnya terjadi tak lama setelah pendeta Buddha asal Cina, Fa Hsien, terdampar di Jepoti atau Javadi (istilah persamaan lidah orang China untuk Jawa-Dwipa).
Dapat pula digunakan rujukan lain, Fo-kuo Chi: Records of Buddhist Kingdoms, yang ditulis Fa Hsien di Cina pada tahun 430 M.
Fa Hsien adalah salah satu pendeta Budha China yang masyhur. Ia dikirim ke India pada tahun 339 M oleh Kaisar Jin Timur, Xia Wudi.
Dalam perjalanan pulang ke Kanton, ia singgah di Kantoli, yang kelak menjadi Criwijaya, dan lalu, akibat cuaca buruk, terdampar di Pulau Jawa.
Ini terjadi pada era raja yang berkuasa antara Airlangga (k. 1009-1042) di Kahuripan, sekarang kira-kira di antara Kudu, Kabupaten Jombang, dan Mada, Kabupaten Lamongan, serta Jayabaya (k. 1135--1157 M) di Mamenang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Masih terpecah
Ketika Fa Hsien terdampar, yang berkuasa di Jawa Dwipa ialah Datu Hang Sambadra berkedudukan di kota yang dibangunnya sendiri pada tahun 385, Pucangsula. Bekas banjar besar ini kini menjadi Desa Logading-Sriamba, Kecamatan Lasem.
Raja ini dibantu anak perawannya berusia 22 tahun, Dewi Sibah (Sie Ba Ha), sebagai dhang puhawang (lama-lama berubah menjadi: dampoawang), panglima angkatan laut.
Sebelum pulang, Fa Hsien berdebat soal agama, tepatnya mengenai "delapan jalan kebenaran", dengan adik raja, yang hanya disebut sebagai Jnanabadra (harfiah: cendekiawan).
Negeri itu disebut Jawa Dwipa karena merupakan paduan dari dua pulau: Jawa Pegon di timur selatan dan Jawa Purwa di barat utara.
Secara administrasi pemerintah kedua pulau ini disatukan oleh Hang Tsu-Wan, pendiri kota Tuban, pada tahun 115 M.
Saat Fa Hsien berkunjung itu, bahkan sampai kunjungan Laksamana Zheng He (dialek Hok Kian: Cheng Ho), tujuh pelayaran antara tahun 1405 dan 1433 M, Pegunungan Muria masih terpisah dari Pulau Jawa.
Saat berjaga alias ronda laut di ujung barat Nusa Jawa Dwipa, Dewi Sibah kedatangan tamu, Resi Agastya Kumbayani, penyebar agama Hindu aliran Ciwa dari kerajaan Indriya-Satwamayu di negeri Menak.
Siapakah Resi Agastya Kumbayani, terutama terkait dengan tokoh kita, Arya Asvendraa.
Rebutan belerang ekspor
Perang tanding seru tak pelak lagi terjadi antara Dewi Sibah dan Resi Agastya Kumbayani yang tampan itu. Singkat kata, Dewi Sibah kalah. Mereka pun saling jatuh cinta dan...Dewi Sibah membawa pulang kekasihnya itu, menghadap ayahnya.
Pada tahun 415 Masehi, Datu Hang Sambadra turun takhta. Pemerintahan Pucangsula diserahkan kepada Dewi Sibah, yang dilantik dan ditetapkan menjadi dattsu-agung (maharani). Juga adik Dewi Sibah yang bernama Dewi Sie Ma Ha (Simah), yang semula adipati-muda Medang Kamulan di Teluk Lusi (kini: Kabupaten Blora) diwisuda menjadi dattsu, dipindah ke Banjar Besar Blengoh, yang dijadikan Keraton Keling. (Sebutan keling ini diambil dari nama buah yang sudah tua dan keras dari pohon tal betina. Bila masih muda, buah ini disebut siwalan).
Sekarang bekas istana ini menjadi Lapangan Keratonan di Desa Blengoh, Kecamatan Keled, Kabupaten Jepara. (mBah Guru, halaman 27)
Datu Hang Sambadra meninggal pada tahun 425. Setahun kemudian, Arya Asvendra diangkat menjadi raja muda.
Pusat banjarnya dijadikan kota bernama Batur-retna. Banjar Rabwan dijadikan pelabuhan negara Baturretna.
Beberapa tahun kemudian, orang Endrya-Satvamayu mendengar kabar bahwa Resi Agastya menjadi datu di negara Baturretna.
Banyak di antara mereka lalu pada menyusul pindah bebadra (membuka tanah) di bumi Dieng yang subur untuk olah pertanian.
Mereka yang tidak menjadi petani diperintah bekerja mengumpulkan belerang dari lereng kawah Dieng. Belerang itu untuk bahan perdagangan... Baturretna, ditukarkan dengan alat pertukangan dan kain sutera yang dibawa peniaga dari China, lewat pelabuhan Banjar Rabwan. (mBah Guru, halaman 30.)
Terjadilah perang saudara. Resi Agastya gugur. Bela pati ayahnya, Arya Asvendra menyusul gugur tengkurap di depan Candi Sumbadra. Bagi Dewi Sibah, perang saudara itu buah simalakama.
Dia pun menyerahkan takhta kepada patihnya. Dia bertapa di Gunung Tapaan sampai wafat pada tahun 445 Masehi.
1 komentar:
memang banyak sejarah ttg jawa telah dibelokkan ceritanya oleh penjajah belanda,banyak bukti2 fisik spt naskah2 kuno,prasasti yg dicolong belanda lalu mengarang ceritanya shg sampe sekarang sejarah jawa jadi simpangsiur...!
Posting Komentar